Maqashid Syari'ah
Fungsi dan Cara Mengetahuinya
sumber pertama agama Islam,
Al-Qur'an mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Al-Qur'an dalam
tiga bagian besar, yaitu aqidah, akhlaq dan syariat. Al-Qur'an tidak membuat
aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung
dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam.
Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, Nabi Muhammad SAW, menjelaskan
melalui berbagai haditsnya. Kedua sumber inilah (Al-Qur'an dan Hadits) yang
kemudian dijadikan pijakan ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama
dalam bidang mu'amalah. Dalam kerangka inilah Asy-Syatibi mengemukakan konsep
maqashid syariah.
Pengertian Maqashid
Syari'ah
Dalam kamus bahasa Arab, maqshad dan
maqashid berasal dari akra kata qashd (). Maqashid () adalah kata yang
menunjukkan banyak (jama'), mufradnya maqshad yang berarti tujuan atau target.
Sedangkan menurut istilah dari beberapa ulama adalah sebagai berikut, menurut
al-Fasi maqashid syariah adalah: tujuan atau rahasia Allah dalam setiap hukum
syariat-Nya. Menurut ar-Risuni, tujuan yang ingin dicapai oleh syariat untuk
mereaalisasikan kemaslahatan hamba. Dan Syatibi mendifinisikan maqashid syariah
dari kaidah berikut berikut: "Sesungguhnya syariah bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat".
Dari pengertian tersebut, dapat
dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Syatibi adalah kemaslahatan umat
manusia. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tidak satupun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
membebankan sesuatu yang tidak dilaksanakan. Kemaslahatan disini diartikan
sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan
manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional
dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.
Imam Asy-Syatibi menjelaskan ada 5
(lima) bentuk maqashid syariah atau yang disebut dengan kulliyat
al-khamsah(lima prisip umum). Kelima maqashid tersebut yaitu:
1. Hifdzu din(melindungi agama),
2. Hifdzu nafs(melindungi jiwa),
3. Hifdzu aql(melindungi pikiran),
4. Hifdzu mal(melindungi harta),
5. Hifdzu nasab(melindungi keturunan).
Kemusian dalam kebutuhan manusia terhadap harta ada yang bersifat dharuri(primer), haji(sekunder), dan tahsini(pelengkap).
Fugsi Maqashid Syari'ah
Seorang faqih dan mufti wajib
mengetahui maqashid nash sebelum mengeluarkan fatwa. Jelasnya, seorang faqih
harus mengetahui tujuan Allah dalam setiap syariat-Nya (perintah atau
larangan-Nya) ag fatwanya sesuai dengan tujuan Allah SWT. Agar tidak terjadi
--seperti- sesuat yang menjadi kebutuhan dharuriyah manusia, tapi
dihukumi sunnah atau mubah.
Lembaga fikih OKI (Organisasi
Konferensi Islam) menegaskan bahwa setiap fatwa harus menghadirkan maqashid
syariah karena maqashid syariah memberikan manfaat sebagai berikut:
pertama, bisa memahami nash-nash Al-Qur'an dan hadits beserta
hukumnya secara komprehensif.
Kedua, bisa mentarjihsalah satu pendapat fuqaha
berdasarkan maqashid syariah sebagai salah satu standar.
Ketiga, memahami ma'allat(pertimbangan
jangka panjang) kegiatan dan kebijakan manusia dan mengaitkannya dengan
ketentuan hukumnya.
Tiga poin tersebut diatas
menunjukkan bahwa mengaitkan status hukum dengan maqashid syariah itu sangat
penting supaya produk-produk hukum itu tidak bertentangan dengan maslahat dan
hajat manusia.
Dalam bab ekonomi produk-produk
hukum itu harus memenuhi hajat dan kepentingan manusia baik hajat mereka
sebagai pembeli, penjual dan lain sebagainya.
Diantara praktek-praktek yang bertentangan dengan
maqashid syariah adalah praktik hilalh ribawiyah(rekayasa) praktek ribawi yang
terlarang. Hal ini pula yang ditegaskan dalam Standar Syariah AAOIFI: 'tidak
boleh mengarahkan lembaga keuangan syariah untuk melakukan hilah yang dilarang
oleh syariat karena bertentangan degnan maqashid syariah (tujuan hukumnya).
Semoga bermanfaat
Sumber :
§
Kompasianana.com
§
Slideshare.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar